MEMBAKAR KEMBALI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA
Oleh
ADAM DWI CITALAKSANA*
Semenjak lahirnya Budi Utomo pada awal abad ke-20 atau
lebih tepatnya pada tanggal 20 mei 1908 dan kemudian dijadikan menjadi hari
lahirnya kebangkitan nasional, kelahiran Budi Utomo ini memberikan dampak yang
baik dan direspon oleh pemuda Indonesia dengan munculnya organisai-organisasi
kepemudaan dan himpunan pemuda maka semenjak itulah pemuda yang mayoritas dari
kalangan mahasiswa sadar bahwasannya berperang melawan penjajah tidak lagi
harus menggunakan senjata melainkan dengan menggunakan akal, pikiran, tekad
niat dan juga persatuan.
Ketika itu
pula pemuda sadar bahwa sifat kedaerahan yang selama ini masih tertanam di
benak mereka akan menghambat cita-cita yang hendak mereka capai. Begitu juga
dengan sifat ketergantungan kepada pemimpin akan menjadi kendala bagi mereka
untuk meraih kemerdekaan. Atas dasar inilah yang melatarbelakangi
diselenggarakannya kongres pemuda.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 malam, di Indonesische
Clubgebouw yang penuh sesak, ribuan pemuda mendengar pidato penutupan Kongres
Pemuda Indonesia ke-dua dan sekaligus mendengar lantunan lagu “Indonesia Raya”
dari biola WR. Soepratman.
Menjelang penutupan, Muhammad Yamin, yang saat itu berusia
25 tahun, mengedarkan secarik kertas kepada pimpinan rapat, Soegondo
Djojopoespito, lalu diedarkan kepada para peserta rapat yang lain. Siapa
sangka, dari tulisan tinta Yamin di secarik kertas itulah tercetus gagasan
Sumpah Pemuda.
Sumpah itu lalu dibaca oleh oleh Soegondo, lalu Yamin
memberi penjelasan panjang lebar tentang isi rumusannya itu. Pada awalnya,
rumusan singkat Yamin itu dinamakan “ikrar pemuda”, lalu diubah oleh Yamin
sendiri menjadi “Sumpah Pemuda”. Berikut isi Sumpah Pemuda itu:
¨ Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah
yang satu, Tanah Indonesia
¨ Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang
satu, Bangsa Indonesia
¨ Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, Bahasa Indonesia
Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28 Oktober dalam tiga
tahap rapat. Rapat pertama berlangsung di gedung Katholieke Jongelingen Bond di
Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), lalu dipindahkan ke Oost Java
Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara), dan
kemudian Gedung Kramat 106 baru dipakai untuk rapat ketiga sekaligus penutupan
rapat.
Dari rapat pertama hingga rapat ketiga, kongres pemuda II
ini menghadirkan 15 pembicara, yang membahas berbagai tema. Diantara pembicara
yang dikenal, antara lain: Soegondo Djojopespito, Muhammad Yamin, Siti Sundari,
Poernomowoelan, Sarmidi Mangoensarkoro, dan Sunario.
Hadir pula banyak organisasi pemuda dan kepanduan saat itu,
diantaranya: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen
Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll.
Sebelum kongres pemuda II, para pemuda sudah pernah
menggelar kongres pertamanya pada tahun 1926. Tabrani Soerjowitjitro, salah
satu tokoh penting dari kongres pertama, peserta kongres pertama sudah
bersepakat menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, pada
saat itu, Tabrani mengaku tidak setuju dengan gagasan Yamin tentang penggunaan
bahasa melayu. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu
bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan
bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu. Keputusan kongres pertama
akhirnya menyatakan bahwa penetapan bahasa persatuan akan diputuskan di kongres
kedua.
Seusai kongres pemuda ke-II, sikap pemerintah kolonial
biasa saja. Bahkan, Van Der Plass, seorang pejabat kolonial untuk urusan negara
jajahan, menganggap remeh kongres pemuda itu dan keputusan-keputusannya. Van
Der Plass sendiri menertawakan keputusan kongres untuk menjadikan bahasa
Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengingat bahwa sebagian pembicara dalam
kongres itu justru menggunakan bahasa Belanda dan bahasa daerah. Soegondo
sendiri, meskipun didaulat sebagai pimpinan sidang dan berusaha mempergunakan
bahasa Indonesia, terlihat kesulitan berbahasa Indonesia dengan baik.
Siti Sundari, salah satu pembicara dalam kongres pemuda II
itu, masih mempergunakan bahasa Belanda. Hanya saja, dua bulan kemudian,
sebagaimana ditulis Dr Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di
Universitas Sydney, Australia, Siti Sundari mulai menggunakan bahasa Indonesia.
Akan
tetapi, apa yang diperkirakan oleh Van Der Plass sangatlah meleset. Sejarah
telah membuktikan bahwa kongres itu telah menjadi “api” yang mencetuskan
persatuan nasional bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
Padahal, sebagaimana dikatakan sejarahwan Asvi Warman
Adam yang mengutip pernyataan Profesor Sartono Kartodirdjo, bahwa Manifesto
Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1925 lebih
fundamental daripada Sumpah Pemuda 1928. Manifesto Politik 1925 berisi prinsip
perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty
(kemerdekaan). Adapun Sumpah Pemuda hanya menonjolkan persatuan-paling tidak
demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini
melalui slogan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”.
Lalu kemanakah pemuda Indonesia saat ini dan apakah mereka
masih ingat isi seta makna yang terkandung dalam sumpah pemuda saat ini?
Sangat
disayangkan, alat pemersatu pemuda Indonesia yang begitu bergairah untuk
diaplikasikan mulai hilang dari kehidupan pemuda sekarang. Kesadaran akan
keinginan bersama untuk bersatu melawan penjajahan saat ini diantara pemuda
sudah mulai pudar. Kehidupan yang serba instan melenyapkan dan menutupi
kesadaran itu bahkan kepribadian pemuda saat ini yang sudah terkikis oleh
gejala westernisasi sudah semakin sulit untuk diobati.
Penjajahan
saat ini lebih dikenal dengan penjajahan neoliberialisme yang arti kecilnya
adalah penjajahan pada pengeksploitasian sumber daya Indonesia secara
berlebihan .
Cara kita melawan penjajahan adalah dengan terlebih
dahulu sadar akan peran kita di dalam masyarakat, kita adalah mahasiswa maka
dari itu berpegang teguhlah pada tujuan mahasiswa yaitu tridharma perguruan
tinggi yang pertama sebagai mahasiswa akademisi yaitu mahasiswa yang tujuan
utama adalah belajar dalam rangka menimba ilmu dan mendukung program pemerintah
yang tertuang dalam isi pembukaan UUD
1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, kedua adalah pencipta diharapkan
mahasiswa dapat menciptakan sesuatu dari apa yang dia dapatkan selama ini
dibangku sekolah baik dalam meciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan gagasan,
menciptakan inovasi atau apapun itu selama bersifat positif, dan yang ketiga
adalah pengabdian, pengabdian disini berarti adalah pengabdian terhadap masyarakat, setelah kita mendapatkan ilmu
kemudian dapat menciptakan sesuatu maka hasil tersebut didedikasikan kepada
masyarakat sebagai tanda pengabdian kepada bangsa dan negara.
Ditambah dengan memaknai arti sumpah pemuda maka kita
akan semakin bangga dengan tanah air dan bangsa kita, sebagai salah satu contoh
yaitu bangga menggunakan bahasa
persatuan yaitu bahasa Indonesia baik di dalam maupun luar negeri dalam kegiatan
apapun itu maka secara langsung kita telah menunjukkan jati diri bangsa.
Salah satu cara agar para pemuda kembali bersatu adalah
dengan mengurangi bahkan menghilangkan rasa ego masing-masing kelompok dan
lebih banyak lagi mengerti akan toleransi baik dalam beragama, berorganisasi,
berkelompok atau bermasyarakat.
Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna
revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil
dan makmur, dan persahabatan antarbangsa yang abadi. “Jangan mewarisi abu
Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu,
saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa,
bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam
peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, 28
Oktober 1963.
*Penulis
adalah Mahasiswa Manajemen Semester 6
Sumber:
-sejarah.kompasiana.com
-berdikarionline.com
for more information please follow @hilmanisme on Twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar