Selasa, 22 April 2014

MEMBAKAR KEMBALI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA

MEMBAKAR KEMBALI SEMANGAT SUMPAH PEMUDA
Oleh
ADAM DWI CITALAKSANA*

Semenjak lahirnya Budi Utomo pada awal abad ke-20 atau lebih tepatnya pada tanggal 20 mei 1908 dan kemudian dijadikan menjadi hari lahirnya kebangkitan nasional, kelahiran Budi Utomo ini memberikan dampak yang baik dan direspon oleh pemuda Indonesia dengan munculnya organisai-organisasi kepemudaan dan himpunan pemuda maka semenjak itulah pemuda yang mayoritas dari kalangan mahasiswa sadar bahwasannya berperang melawan penjajah tidak lagi harus menggunakan senjata melainkan dengan menggunakan akal, pikiran, tekad niat dan juga persatuan.
            Ketika itu pula pemuda sadar bahwa sifat kedaerahan yang selama ini masih tertanam di benak mereka akan menghambat cita-cita yang hendak mereka capai. Begitu juga dengan sifat ketergantungan kepada pemimpin akan menjadi kendala bagi mereka untuk meraih kemerdekaan. Atas dasar inilah yang melatarbelakangi diselenggarakannya kongres pemuda.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 malam, di Indonesische Clubgebouw yang penuh sesak, ribuan pemuda mendengar pidato penutupan Kongres Pemuda Indonesia ke-dua dan sekaligus mendengar lantunan lagu “Indonesia Raya” dari biola WR. Soepratman.
Menjelang penutupan, Muhammad Yamin, yang saat itu berusia 25 tahun, mengedarkan secarik kertas kepada pimpinan rapat, Soegondo Djojopoespito, lalu diedarkan kepada para peserta rapat yang lain. Siapa sangka, dari tulisan tinta Yamin di secarik kertas itulah tercetus gagasan Sumpah Pemuda.
Sumpah itu lalu dibaca oleh oleh Soegondo, lalu Yamin memberi penjelasan panjang lebar tentang isi rumusannya itu. Pada awalnya, rumusan singkat Yamin itu dinamakan “ikrar pemuda”, lalu diubah oleh Yamin sendiri menjadi “Sumpah Pemuda”. Berikut isi Sumpah Pemuda itu:
¨ Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
¨ Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
¨ Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia


Kongres Pemuda II berlangsung pada 27-28 Oktober dalam tiga tahap rapat. Rapat pertama berlangsung di gedung Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), lalu dipindahkan ke Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara), dan kemudian Gedung Kramat 106 baru dipakai untuk rapat ketiga sekaligus penutupan rapat.
Dari rapat pertama hingga rapat ketiga, kongres pemuda II ini menghadirkan 15 pembicara, yang membahas berbagai tema. Diantara pembicara yang dikenal, antara lain: Soegondo Djojopespito, Muhammad Yamin, Siti Sundari, Poernomowoelan, Sarmidi Mangoensarkoro, dan Sunario.
Hadir pula banyak organisasi pemuda dan kepanduan saat itu, diantaranya: Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll.
Sebelum kongres pemuda II, para pemuda sudah pernah menggelar kongres pertamanya pada tahun 1926. Tabrani Soerjowitjitro, salah satu tokoh penting dari kongres pertama, peserta kongres pertama sudah bersepakat menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. Akan tetapi, pada saat itu, Tabrani mengaku tidak setuju dengan gagasan Yamin tentang penggunaan bahasa melayu. Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu. Keputusan kongres pertama akhirnya menyatakan bahwa penetapan bahasa persatuan akan diputuskan di kongres kedua.
Seusai kongres pemuda ke-II, sikap pemerintah kolonial biasa saja. Bahkan, Van Der Plass, seorang pejabat kolonial untuk urusan negara jajahan, menganggap remeh kongres pemuda itu dan keputusan-keputusannya. Van Der Plass sendiri menertawakan keputusan kongres untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mengingat bahwa sebagian pembicara dalam kongres itu justru menggunakan bahasa Belanda dan bahasa daerah. Soegondo sendiri, meskipun didaulat sebagai pimpinan sidang dan berusaha mempergunakan bahasa Indonesia, terlihat kesulitan berbahasa Indonesia dengan baik.
Siti Sundari, salah satu pembicara dalam kongres pemuda II itu, masih mempergunakan bahasa Belanda. Hanya saja, dua bulan kemudian, sebagaimana ditulis Dr Keith Foulcher, pengajar jurusan Indonesia di Universitas Sydney, Australia, Siti Sundari mulai menggunakan bahasa Indonesia.
            Akan tetapi, apa yang diperkirakan oleh Van Der Plass sangatlah meleset. Sejarah telah membuktikan bahwa kongres itu telah menjadi “api” yang mencetuskan persatuan nasional bangsa Indonesia untuk melawan kolonialisme.
            Padahal, sebagaimana dikatakan sejarahwan Asvi Warman Adam yang mengutip pernyataan Profesor Sartono Kartodirdjo, bahwa Manifesto Politik yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1925 lebih fundamental daripada Sumpah Pemuda 1928. Manifesto Politik 1925 berisi prinsip perjuangan, yakni unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan). Adapun Sumpah Pemuda hanya menonjolkan persatuan-paling tidak demikianlah yang tertanam dalam memori kolektif masyarakat Indonesia selama ini melalui slogan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”.
Lalu kemanakah pemuda Indonesia saat ini dan apakah mereka masih ingat isi seta makna yang terkandung dalam sumpah pemuda saat ini?
            Sangat disayangkan, alat pemersatu pemuda Indonesia yang begitu bergairah untuk diaplikasikan mulai hilang dari kehidupan pemuda sekarang. Kesadaran akan keinginan bersama untuk bersatu melawan penjajahan saat ini diantara pemuda sudah mulai pudar. Kehidupan yang serba instan melenyapkan dan menutupi kesadaran itu bahkan kepribadian pemuda saat ini yang sudah terkikis oleh gejala westernisasi sudah semakin sulit untuk diobati.
            Penjajahan saat ini lebih dikenal dengan penjajahan neoliberialisme yang arti kecilnya adalah penjajahan pada pengeksploitasian sumber daya Indonesia secara berlebihan .
            Cara kita melawan penjajahan adalah dengan terlebih dahulu sadar akan peran kita di dalam masyarakat, kita adalah mahasiswa maka dari itu berpegang teguhlah pada tujuan mahasiswa yaitu tridharma perguruan tinggi yang pertama sebagai mahasiswa akademisi yaitu mahasiswa yang tujuan utama adalah belajar dalam rangka menimba ilmu dan mendukung program pemerintah yang     tertuang dalam isi pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, kedua adalah pencipta diharapkan mahasiswa dapat menciptakan sesuatu dari apa yang dia dapatkan selama ini dibangku sekolah baik dalam meciptakan lapangan pekerjaan, menciptakan gagasan, menciptakan inovasi atau apapun itu selama bersifat positif, dan yang ketiga adalah pengabdian, pengabdian disini berarti adalah pengabdian terhadap  masyarakat, setelah kita mendapatkan ilmu kemudian dapat menciptakan sesuatu maka hasil tersebut didedikasikan kepada masyarakat sebagai tanda pengabdian kepada bangsa dan negara.
            Ditambah dengan memaknai arti sumpah pemuda maka kita akan semakin bangga dengan tanah air dan bangsa kita, sebagai salah satu contoh yaitu  bangga menggunakan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia baik di dalam maupun luar negeri dalam kegiatan apapun itu maka secara langsung kita telah menunjukkan jati diri bangsa.
Salah satu cara agar para pemuda kembali bersatu adalah dengan mengurangi bahkan menghilangkan rasa ego masing-masing kelompok dan lebih banyak lagi mengerti akan toleransi baik dalam beragama, berorganisasi, berkelompok atau bermasyarakat.
            Bung Karno sendiri menganggap Sumpah Pemuda 1928 bermakna revolusioner: satu negara kesatuan dari Sabang sampai Merauke, masyarakat adil dan makmur, dan persahabatan antarbangsa yang abadi. “Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, saudara-saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir,” kata Soekarno dalam peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35 di Istana Olahraga Senayan, Jakarta, 28 Oktober 1963.
                                            *Penulis adalah Mahasiswa Manajemen Semester 6
  Sumber: -sejarah.kompasiana.com
                                                                                                                        -berdikarionline.com
 for more information please follow @hilmanisme on Twitter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar