AMBIVALENSI KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN
DAN TEKNOLOGI
Oleh
Jumadi*
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek) telah banyak mendominasi kehidupan manusia, termasuk interaksinya
dengan alam sekitar dan sesamanya. Kemajuan Iptek banyak dijadikan sebagai
tolak ukur menilai maju-tidaknya peradaban umat manusia di berbagai belahan
dunia. Tidak mengherankan kalau akhirnya ilmu pengetahuan dan teknologi
diagung-agungkan, dan setiap bangsa berlomba untuk memilikinnya. Tapi
pertanyaan yang muncul adalah: Apakah Iptek merupakan pilihan satu-satunya bagi
pengembangan peradaban manusia, bagi pemenuhan kebutuhannya dan untuk menjawab
semua permasalahan yang dihadapinya? Dan apakah Iptek sama sekali tidak membawa
serta sisi-sisi negative bagi manusia dan kehidupan pada umumnya? Dari
kenyataan yang terjadi hingga sekarang ini, semakin disadari bahwa kemajuan
yang semakin pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, selain membawa
manfaat besar bagi kehidupannya, juga membawa serta didalamnya masalah-masalah
etis yang serius. Itulah ambivalensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ambivalensi
Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
1.
Optimisme Kemajuan Ilmu
Tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah
banyak membawa kemudahan dalam kehidupan manusia. Ada cukup banyak hal yang
sebelumnya tidak terbayangkan, sekarang menjadi kenyataan. Hal ini terjadi di
banyak bidang kehidupan, seperti misalnya di bidang transportasi dan
komunikasi, yang kini sangat memudahkan setiap orang untuk pergi atau melakukan
komunikasi kepada banyak orang. Di bidang pelayanan kesehatan terjadi kemajuan
sangat pesat, yang telah membuat hidup bisa lebih berkualitas dan meningkatkan
umur harapan hidup. Hal yang utama bertambah dengan kemungkinan-kemungkinan
ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kemampuan manusia itu sendiri. Filsuf
Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah menyadari aspek penting ini dengan
menekankan bahwa knowledge is power. Dan filsuf Perancis, Rene
Descartes (1596-1650) menuliskan sebuah keyakinannya di bagian akhir salah sau
bukunya, bahwa umat manusia bisa menjadi “penguasa dan pemilik alam”.
Kepercayaan akan kemajuan ilmu pengetahuan menjadi sangat kentara dalam
pemikiran filsuf Perancis, August Comte (1798-1857), yang memandang zaman
ilmiah- yang disebutnya “zaman positip”- sebagai puncak dan titik akhir eseluruh
sejarah.
Pandangan optimisme manusia akan
kemajuan yang dihasilkan oleh ilmi pengetahuan dan teknologi berlangsung terus,
dan mencapai puncaknya dalam abad ke-19. Ilmu pengetahuan dan teknologi
dianggap sebagai kunci utama untuk memecahkan berbagai kesulitan yang dihadapi
oleh manusia dalam hidupnya. Namun, pandangan yang begitu optimis ini harus
segera ditinjau kembali. Dengan berbagai kenyataan yang ada, kita harus berani
melakukan penilaian, bukan hanya atas segi positif dari iptek itu sendiri,
melainkan juga atas sisi negatifnya. Sejalan dengan hal-hal positip yang
dibawakannya, ternyata banyak juga sisi negative yang terjadi dengan konotasi
etis, yang dibawa serta oleh kemajuan iptek itu sendiri dalam kehidupan. Kalau
sebelunya hanya terdapat kekaguman terhadap kemajuan luar biasa dari iptek,
maka ketika bom atom dijatuhkan pertama kali di atas kota Hirosima, 6 Agustus
1945, disusul tiga hari kemudian di Nagasaki, kesadaran manusia akan sisi
negatif dari kemajuan iptek, menjadi terbuka. Ini adalah hasil dari kemajuan
penguasaan fisika nuklir. Dari penguasaan yang semakin baik di bidang fisika
dan kimia telah dikembangkan berbagai persenjataan, termasuk persenjataan
pemusnah missal. Sudah berapa banyak yang telah menjadi korban dari persenjataan
seperti itu. Dan sekarang umat manusia senantiasa dihantui oleh ketakutan dan
kecemasan berkepajangan, kapan hidupnya diakhiri oleh senjata-senjata maut itu.
Berbagai fakta juga menunjukkan bahwa perkembangan pesat dalam penguasaan
teknologi tanpa batas dalam industri modern telah membawa kerusakan besar pada
lingkungan hidup. Inilah yang dimaksud dengan ambivalensi kemajuan iptek, yakni
bahwa iptek itu sendiri membawa serta, baik sisi positif maupun sisi negative
bagi kehidupan.
2.
Masalah Bebas Nilai
Apakah ilmu itu bebas nilai? Artinya tidak ada hubungannya dengan
dengan nilai-nilai? Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, ada pro dan
kontra mengenai kaitan antara ilmu dengan moral atau dengan nilai. Metode ilmu
pengetahuan memang otonom dan tidak boleh dicampuri oleh pihak lain. Tidak ada
instansi lain yang berhak menyensor dan menentukan penelitian ilmiah. Dan
memang kini sudah diterima tanpa keberatan dan prosedurnya. Tidak ada hak atau
kuasa dari instansi lain, entah itu terjadi atas nama nilai moral, nilai
keagamaan, atau alas an apapun juga. “Kami mencari kebenaran dan bukan sesuatu
yang lain” sudah lama menjadi semboyan banyak ilmuwan.
Campur tangan instandi lain dalam metode ilmiah tidak saja merugikan ilmu,
tetapi juga merugikan instansi itu sendiri, karena kredibilitasnya bisa
berkurang, lebih-lebih bila terbukti kemudian bahwa ap yang dihasilkan oleh
ilmu itu merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Contoh klasik adalah
seorang ilmuawan Itali, Galileo Galilei, yang pada tahun1633 dipaksa oleh
gereja untuk menaraik teorinya bahwa bumi mengelilingi matahari dan tidak
sebaliknya, karena dinilai oleh gereja bertentangan dengan Kitab Suci. Ternyata
kemudian, apa yang dikemukakan oleh Galileo Galilei itu benar. Dalam abad ke-20
ini masih terjadi kasus sejenis di mana dalam hal ini Negara campur tangan
dalam menentukan kebenaran atau ketidakbenaran penemuan ilmiah. Di Uni Sovyet,
ahli biologi dan genetika, T.D. Lysenko, berhasil meyakinkan pemerintah Stalin
bahwa teori genetika Mendel yang tradisional itu bersifat anti Marxistis dan
bahwa teorinya sendiri sesuai dengan ajaran komunis dan akan memungkinkan
loncatan maju di bidang pertanian. Ternyata di kemudian hari terbentuk pendapat
umum di kalangan ilmuwan bahwa teori Lysenko itu tidak benar. Tapi, dengan,
dengan wibawa kekuasaan ang ada di tangannya stalin memenangkan Lysenko dan
para pengikutnya, sedangkan ilmuwan-ilmuwan yang tidak sependapat disingkirkan.
Seorang ahli genetika terkemuka N.I.Vavilov, yang ternyata berani mengkritik
teori Lysenko, meninggal dalam kamp konsentrasi sebagai “martir” demi ilmu
pengetahuan yang otonom .Pada tempatnyalah bahwa metode ilmu pengetahuan itu
otonom dalam mencari kebenaran. Akan tetapi perlu diakui juga bahwa ilmu, dan
terutama teknologi-sebagai penerapan ilmu teoritis-akan berhadapan dngan
nilai-nilai. Sekarang ini kemampuan manusia yang tmapak dalam penguasaan ilmu
dan teknologi yang semakin maju bertautan erat dengan kekuatan ekonomis dan
politik/militer. Penelitian ilmiah yang amat terspesialisasi membutuhkan dana
yan sangat besar. Maka ilmuwan, dengan segala maksud luhur yang terpendam dalam
hatinya, tidak akan bisa berbuat banyak bial dana yang dibutuhkan tidak
tersedia secara memadai. Supaya penelitian dapat terlaksana atau harus
dilaksanakan, maka diperlukan keterlibatan pihak atau instansi tertentu sebagai
penyandang dana. Dan tidak sulit dimengerti bahwa pihak yang membiayai
penelitian ilmiah tentu punya maksud dan harapan tertentu, yang pasti sangat
berkaitan dengan kepentingan tertentu. Maka dapat dikatakan bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung sekarang ini hamper tidak bisa
dilepaskan dari kepentingan tertentu, yang umunya terkait dengan kepentingan
bisnis dan politik/militer, yakni kekuasaan.
3.
Kemenangan ilmu pengetahuan
Pada awal perkemnbangannya, ilmu pengetahuan sudah dihadapkan
dengan masalah-masalah moral, yang sebagian besarnya bersumber dari ajaran
agama. Secara metafisik, ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya,
sedanglkan di pihak lain berkembang keinginan agar ilmu didasarkan pada
nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-ajaran lain di luar bidang keilmuan.
Itulah yang terjadi pada diri gallileo yang terpaksa menjalani pengadilan
inkuisisi pada tahun 1633. Dapat dikatakan, kurang lebih dua setengah abad
sejak kejadian tersebut, peristiwa itu telah mempengaruhi proses perkembangan
berpikir di Eropa, di mana terjadi semacam pertarungan antara ilmu yang ingin
terbebas dari nilai-nilai di luar bidang keilmuan dan ajaran-ajaran di luar
bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya sebagai penafsiran
metafisik keilmuan. Dalam suasana pengaruh yang sangat kuat dari agama
(Gereja), para ilmuwan tetap berjuang untuk menegakkan ilmu yang berdasarkan
penafsiran alam sebagaimana adanya. Setelah pertarungan selama kuran lebih
duaratus lima puluh tahun itu akhirnya ilmu pengetahuan mendapatkan kemenangan.
Sejak saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian-penelitian
dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Berbagai pengembangan
konsepsional pemikiran yang bersifat kontemplatif dilanjutkan dengan penerapan
konsep-konsep ilmiah kepada masalah-masalah praktis. Dengan demikian
konsep-konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk yang semakin
kongkrit, yakni teknologi. Jadi teknologi disini kita artikan sebagai penerapan
konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis, baik yang berupa
perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Dalam tahap ini ilmu
tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan
pemahaman, namun lebih jauh lagi, bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang
terkait dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang
terjadi. Perkembangan ini, Bertrand Russell menyebutnya sebagai peralihan ilmu
dari kontempelasi ke manipulasi.
Sumber
Oleh: Antonius Atosokhi Gea & Anonina Panca Yuni Wulandari dalam
bukunya CHARACTER BUILDING IV: Relasi dengan Dunia (Alam, Iptek &
Kerja)
*Penulis adalah
Mahasiswa Jurusan Manajemen Semester 6
For more information please
follow @hilmanisme on Twitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar