Sabtu, 18 Juni 2016

Menggugah Perjuangan Perempuan*

Sejarah perjuangan perempuan melawan kolonialisme sangat minim diketahui oleh masyarakat Indonesia. Kebanyakan masyarakat mengenal pejuang-pejuang mereka melawan penjajah hanya dari kalangan laki-laki atau organisasi yang digerakkan oleh laki-laki semata. Padahal perempuan juga memberi andil besar mengantarkan perjuangan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.
Menurut Suryochondro di dalam bukunya Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia (2000), organisasi perempuan pertama di Indonesia adalah Poetri Mardika. Kelahiran organisasi perempuan ini tak lepas dari peran Budi Oetomo, yang memang tidak bisa dipisahkan dari gerakan nasional bahkan internasional yang memperjuangkan emansipasi, nasionalisme dan kolonialisme. Setelah itu muncullah berbagai organisasi perempuan seperti Jong Java Maniskering, Young Javanese Girls Circle, Wanita Oetomo, Aisyiah, Poetri Indonesia, Wanito Muljo, Jong Islamieten Bond dan lain-lain.
Pada masa itu, gerakan perempuan nasionalis ini bersatu membasmi ketidakadilan dari sistem kolonial sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesejajaran. Maka tak heran jika nama-nama pejuang perempuan besar tanah air itu dikenang dan menjadi sosok teladan untuk generasi saat ini, seperti Cut Nya Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Martha Crhistina Tiahahu dari dari Maluku, dan Nyai Ageng Serang dari Jawa Tengah serta berbagai pejuang perempuan lainnya. Sayangnya, sejarah nasional kita kurang adil dalam menyingkap fakta perjuangan kalangan perempuan di kalangan masyarakat. Sehingga yang dipahami masyarakat hanyalah perjuangan laki-laki semata.
Perjuangan perempuan di masa kemerdekaan ini lebih sulit dari masa penjajahan. Di jaman kolonialisme, semua bahu-membahu melawan penjajah. Musuh yang dihadapi sangat nyata di depan mata, penjajah !. Akan tetapi setelah kemerdekaan, perjuangan kaum perempuan beralih kepada perjuangan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan kerja. Akan tetapi, perjuangan-perjuangan ini harus berhadapan dengan kasus-kasus diskriminasi dan pembagian peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan.
Misalkan dalam ranah politik, masih teringat jelas di benak kita bagaimana pada tahun 1999 terdapat wacana pemimpin perempuan. Akan tetapi para politisi menggunakan nalar dan argumentasi agama untuk mendelegitimasi perempuan di kancah politik. Mereka menganggap perempuan tidak berhak menjadi pemimpin. Padahala langkah itu semata-mata untuk mengganjal politik Megawati untuk menjadi Presiden. Hal ini bisa dibuktikan ketika kemudian hampir seluruh politisi tidak mempersoalkan Megawati untuk menggantikan kepemimpinan Gus Dur. Artinya, kepentingan politik juga mengarah pada diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam ranah legislatif, memang sudah terdapat UU perihal keharusan 30% partisipasi perempuan di wakil rakyat. Akan tetapi, kuota ini sangat sulit terpenuhi. Banyak di kalangan partai politik sulit memenuhi kuota tersebut karena di satu sisi jumlah tokoh politik perempuan mungkin masih terbatas, tetapi di sisi yang lain banyak dari kalangan politisi laki-laki yang kurang bersemangat untuk memenuhi kuota tersebut. Toh jika pun ada, mereka hanya mengakomodir kalangan perempuan yang memiliki pengaruh dan masa yang besar, tanpa mempertimbangan hak-hak perempuan dengan kepemimpinan yang baik dan integritas yang teruji.
Begitu juga dalam berbagai bidang-bidang lain. Diskriminasi terhadap perempuan masih banyak terjadi, sebagaimana pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan, pelecehan seksual lainnya, perdagangan perempuan, diskriminasi di tempat kerja dan banyak kasus lainnya. Untuk itu masalah pemberdayaan perempuan atau persoalan bagaimana perempuan diletakkan dalam kehidupan bernegara sangat penting untuk terus diperjuangkan, mengingat masih banyak persoalan tentang perempuan belum bisa diatasi.
Perempuan sebagaimana juga laki-laki merupakan warga negara dengan hak-hak kewarganegaraan yang sama. Oleh karena itu, tidak boleh ada diskriminalisasi hanya karena perbedaan jenis kelamin, sebagaimana juga tidak dibenarkan diskriminasi terhadap perbedaan agama, suku, bahasa, kelas ekonomi, ras, dan lain-lain, karena hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia secra universal.
Perjuangan tersebut harus diletakkan dalam keadilan sosial yang lebih luas, yakni membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi. Permasalahan dan diskriminasi terhadap perempuan saat ini bukan hanya permasalahan yang harus diperjuangkann oleh perempuan semata, tetapi ini menjadi permasalahan bersama, baik laki-laki maupun perempuan. Masyarakat yang berkeadilan gender tidak hanya akan menguntungkan perempuan, tetapi juga laki-laki, karena majunya perempuan akan memberi dampak kemajuan bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan.
Apatisme Mahasiswi
Sayangnya, berbagai persoalan ini justru tidak mendapatkan kesadaran serius di kalangan perempuan sendiri. Harus diakui, sikap apatisme mahasiswi terhadap politik, pendidikan, budaya dan sosial kemasyarakatan masih menjadi penyakit yang akut. Sebagai kader intelektual perempuan, banyak kalangan mahasiswi yang acuh terhadap kondisi bangsa dan negara serta lingkungan sekitar. Sikap rendah diri, masa bodoh, dan penakut merupakan suatu bentuk tindakan yang masih membayangi mahasiswi. Sikap itu tidak seharusnya ada pada diri setiap perempuan. Sifat-sifat kerendahan itu harus dilenyapkan. Atas dasar tanggung jawab terhadap bangsa dan agama, maka partisipasi perempuan di dalam ranah publik merupakan sebuah kemutlakan.
Perempuan mempunyai hak-hak dalam kehidupan meliputi segala aspek kehidupan baik dalam ranah politik, sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini merupakan tuntutan nurani yang mendorong manusia untuk berkeinginan, berkehendak dan berbuat sebagai realisasi dan manifestasi ajaran-ajaran Islam. Naifnya, mahasiswi saat ini justru memilih untuk menghabiskan waktu pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Mereka sibuk dengan gadget, tren sosial, penampilan ataupun gaya hidup yang semakin tinggi. Ujungnya, hanya mengahasilkan konsumerisme, hedonisme dan apatisme sosial. Jangankan melanjutkan perjuangan perempuan, mengetahui dan memahami saja tidak pernah, apalagi peka terhadap politik, ekonomi, dan sosial.
Harus pula dipahami, masih sangat minim usaha-usaha konkrit mahasiswi ke dalam partisipasi publik yang meliputi bidang-bidang organisasi, administrasi, latihan-latihan kepemimpinan, pendidikan dan pengajaran, kebudayaan, dakwah maupun dalam berbagai bentuk sosial kemasyarakatan lain. Padahal hal ini menyangkut peri hidup perempuan dalam hubungannya dengan pengabdian terhadap masyarakat. Adapun pengabdian merupakan salah satu dari bagian Tri Dharma perguruan tinggi. Jika pengabdian diiringi dengan niat yang ikhlas dan sebuah bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan, maka akan melahirkan sebuah amal ibadah mulia.
Sebagai mahasiswi dan anggota masyarakat, perempuan harus berpartisipasi dalam ranah politik, ekonomi, kebudayaan maupun kehidupan sosial masyarakat. Karena itu semua merupakan manifesto antara ilmu dan amal, antara teori dan perbuatan. Sebuah bentuk konkrit penyatuan antar kata dan tindakan kepada masyarakat selagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama. Dikotomi antar mahasiswi dan sosial masyarakat mutlak harus ditolak.

*(Syarifaeni Fahdiah ; Ketua Umum Kohati Cabang Ciputat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar