Minggu, 15 Februari 2015

Tan Malaka Mendebat Bung Karno

Tan Malaka menginjakkan kakinya kembali di tanah air setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Meski sudah berada di tanah air, Tan tetap menggunakan nama samaran guna menghindari intel Jepang dan negara imperialis.

Salah satu tempat yang sempat ditinggali Tan Malaka saat awal-awal kedatangannya kembali ke tanah air adalah Bayah, Banten. Tan tiba di kota itu Juni 1943. Saat itu Tan harus bekerja karena uang di kantongnya telah menipis.

Sementara untuk meminta bantuan kepada kaum pergerakan kemerdekaan saat itu Tan belum berani. Sebab, begitu lamanya dia berada di luar negeri sebagai orang buangan membuatnya ‘buta’ pada peta perpolitikan dan pergerakan di tanah air. Tan tak tahu yang mana teman dan mana lawan yang berkoloni dengan Jepang.

Di Bayah, Banten, Tan bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha. Di kemudian hari Tan diangkat menjadi kepala. Selain bekerja, Tan juga memberi berbagai pendidikan kepada para romusha di kota itu. Dalam hatinya, Tan sedih atas nasib yang menimpa saudara sebangsanya itu.

Karenanya romusha Bayah, Banten, menjadi salah satu kisah yang tak terlupakan bagi Tan. Bayah juga menjadi tempat pertemuan Tan Malaka dengan Soekarno untuk kali pertama. Namun saat itu Bung Karno tak mengetahui orang itu adalah Tan Malaka tokoh yang pemikirannya banyak menjadi inspirasinya. Sebab, saat itu Tan menyamar dengan nama Ilyas Hussein.

Saat itu lokasi tempat kerja Tan Malaka mendapat kehormatan untuk dikunjungi oleh dua pemimpin besar yang saat itu namanya tengah bersinar dalam perjuangan rakyat Indonesia yakni Soekarno dan Moh Hatta. Berbagai persiapan pun dilakukan untuk menyambut keduanya.

Saat itu Tan mendapat tugas untuk menyambut Bung Karno dan Hatta di pintu gerbang dan mengantarkan ke ruang pertemuan. Tan juga ditugasi untuk membawakan makanan dan minuman kepada keduanya.

Dalam biografinya ‘Dari Penjara ke Penjara’ Tan Malaka awalnya gembira bisa bertemu dengan Bung Karno dan Hatta. Sampai-sampai ia dipinjami temannya kemeja dan dasi karena pakaian yang dimilikinya penuh dengan tambalan dan dirasa kurang layak untuk digunakan bertemu dua tokoh itu.

Setelah sampai di ruang pertemuan, Bung Karno dan Bung Hatta lantas menyampaikan pidatonya masing-masing. Namun, pidato itu rupanya tak memuaskan hati Tan Malaka.

“Pidato itu tak berapa bedanya dengan berlusin-lusin yang diucapkannya di rapat raksasa dan radio… Sari isinya ialah cocok dengan kehendak Jepang penjajah: ‘Kita mesti berbakti dulu kepada Jepang, saudara tua, yang sekarang berperang mati-matian menantang Sekutu yang jahanam itu. Setelah Sekutu kalah maka kita oleh ‘saudara tua’ akan diberi kemerdekaan…” kata Tan Malaka.

Usai keduanya berpidato, sang moderator Sukarjo Wiryopranoto, lantas membuka sesi tanya jawab. Peserta pertemuan diberi kesempatan untuk bertanya kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Namun, pertanyaan dari beberapa peserta malah tak mendapat jawaban serius. Bahkan sang moderator sempat beberapa kali mengejek pertanyaan yang dilontarkan oleh para pekerja.

Tak terima atas hal itu, Tan Malaka yang saat itu tengah membawa makanan tiba-tiba langsung meletakkan nampan wadah untuk makanan. Dari posisi paling belakang peserta, Tan langsung mengajukan pertanyaan kepada Bung Karno.

“Kalau saya tiada salah bahwa kemenangan terakhir akan menjamin kemerdekaan Indonesia. Artinya itu kemenangan terakhir dahulu dan di belakangnya baru kemerdekaan Indonesia? Apakah tiada lebih cepat bahwa kemerdekaan Indonesia-lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir,” tanya Tan yang saat itu dikenal sebagai Ilyas Hussein.

Dengan sikap yang tak begitu mempedulikan, Bung Karno lantas berdiri dan memberi jawaban. Saat itu Bung Karno menjawab jika Indonesia diberikan kemerdekaan saat itu juga oleh Jepang, nantinya Indonesia akan terpaksa juga memperjuangkan kemerdekaan itu.

“Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita,” demikian jawaban Bung Karno.

Merasa tak sehaluan dengan pemikiran Bung Karno soal kemerdekaan, Tan Malaka lantas kembali berbicara. Tan sadar perlunya perjuangan meski misalnya saat itu juga Indonesia telah merdeka. Namun, perjuangan kemerdekaan akan lebih semangat dilakukan jika bukan didasarkan atas janji pemberian pihak lain, melainkan atas usaha sendiri.

Menurut Tan Malaka semangat untuk membela naik dengan adanya hak nyata yang sudah ada di tangan. Dengan ditetapkannya hari kemerdekaan Indonesia maka rakyat Indonesia akan berjuang mati-matian untuk membela dan mempertahankannya.

Usai Tan berhenti bicara, Bung Karno langsung berdiri sambil merapikan pakaian dan melihat kanan kiri. Seakan ingin menunjukkan siapa dirinya, Bung Karno lantas dengan lantang memberikan sebuah pernyataan yang intinya tetap pada pendiriannya.

“Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya (Soekarno) tiada akan terima,” kata Bung Karno.

Tak puas dengan jawaban Bung Karno, Tan Malaka pun hendak kembali melontarkan pendapatnya. Namun keinginannya itu tak bisa terlaksana. Seorang pengawas pekerja melarangnya untuk kembali berbicara.

“Saya terpaksa tidak mengizinkan lagi tuan Hussein (Tan Malaka) untuk berbicara,” kata pengawas itu.

Perbedaan pemikiran antara Tan Malaka dengan Bung Karno itu kemudian berlanjut hingga setelah proklamasi kemerdekaan. Namun saat itu Tan Malaka sudah membuka identitasnya. Bung Karno kukuh dengan pendiriannya untuk melakukan perundingan dengan Belanda, sementara Tan Malaka tak setuju. Tan memiliki prinsip kemerdekaan harus diraih 100 persen.

Perundingan hanya bisa dilakukan jika Belanda dan sekutunya mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen dan menarik pasukannya dari wilayah Indonesia. Jika hal itu tak terjadi, kemerdekaan dapat diraih dengan cara perang dengan strategi gerilya.

(Sumber: Merdeka.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar